Selamat hari ini buat yang baca :)
Oh ya sekarang aku mau ngasih liat karanganku dalam rangka tugas membuat karangan wacana di matkul Tata Tulis Karya Ilmiah. Karena tugas, jadi bahasanya baku, kan gak enak sama dosennya kalo bahasanya G40L getoch,,, ^0^
Aku mengangkat topik PKL yang berarti Pedagang Kaki Lima, bukan Pipi Kuning Langsat yah. Ok, have a nice read! :)
Saya dan PKL
PKL, pertama kali disebutkan kata
itu oleh dosen, yang pertama kali terlintas di pikiran saya adalah Praktek
Kerja Lapangan. Kenapa? Karena dulu saat saya masih bersekolah di SMK,
kepanjangan dari kata PKL adalah Praktek Kerja Lapangan yang harus saya dan
teman-teman sekolah jalani saat tahun akhir kami bersekolah sebagai salah satu syarat
kelulusan. Tapi, mari kita lupakan PKL yang ada di pikiran saya karena bahasan
PKL kali ini adalah Pedagang Kaki Lima.
Pedagang kaki lima atau sering
disebut dengan PKL, mungkin banyak yang bertanya (termasuk saya) kenapa para
pedagang itu disebut sebagai pedagang kaki lima, padahal para pedagang itu
hanya memiliki dua kaki pada tubuhnya? Apakah pedagang-pedagang tersebut
merupakan mutan hasil eksperimen sebuah laboratorium yang menambah tiga kaki
pada tubuhnya? Atau, sekelompok monster berkaki lima yang berdagang di pinggir
jalan? Sepertinya bukan, karena dari pengamatan saya sampai saat ini para
pedagang itu masih berwujud manusia dan memiliki dua kaki seperti manusia pada
umumnya. Jadi, saya kembali mengajak pembaca untuk melupakan pendapat-pendapat
konyol di atas.
Pedagang Kaki Lima atau disingkat
PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak.
Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada
lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga
"kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan
satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada
umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima
berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu
menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana
untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar
satu setengah meter.
Sekian puluh tahun setelah itu,
saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan
oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang emperan
jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika merunut sejarahnya,
seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki.
Di beberapa tempat, pedagang kaki
lima dipermasalahkan karena mengganggu ketertiban lingkungan. Antara lain,
mengganggu para pengendara kendaraan bermotor dan para pejalan kaki yang menggunakan trotoar. Selain itu, ada PKL
yang menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang sampah dan air
cuci. Sampah dan air sabun dapat lebih merusak sungai yang ada dengan mematikan
ikan dan menyebabkan eutrofikasi (masalah lingkungan hidup yang diakibatkan
oleh limbah fosfat, khususnya dalam ekosistem air tawar).
Tetapi PKL kerap menyediakan
makanan atau barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat, murah daripada
membeli di toko. Modal dan biaya yang dibutuhkan kecil, sehingga kerap
mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis. Dengan modal yang kecil atau
orang kalangan ekonomi lemah yang biasanya mendirikan bisnisnya di sekitar
rumah mereka.
Jadi walaupun para PKL ini
menggangu arus lalu lintas terdapat pula sisi positifnya, yaitu menyediakan
barang-barang yang lebih murah dari pedagang di toko. Untuk sisi positif dari
kedua hal tersebut, sebaiknya pemerintah daerah setempat memberi tempat/kawasan
tersendiri bagi para PKL yang letaknya dekat dengan jalan tanpa dipungut biaya
sewa kawasan. Alasan sebenarnya dari munculnya para PKL karena mereka tidak
perlu memberikan biaya sewa tempat seperti yang diterapkan pada kawasan
pertokoan. Maka dari itu, mari tertibkan para PKL agar menciptakan kenyamanan
dalam berkendara dan berbelanja.
nice post :3
BalasHapus